entahlah, bagaimana caranya mengangkat dahi, membusung dada sampai matahari menantang arah kepadanya. mungkin ini suratannya untuk membuat semua menyurutkan langkah, hingga kepompong di garis senja terdiam memelas, seakan tak sanggup mengubah dirinya. ah, sungguuh epilog ini takkan terhenti. jika imaji masih dikuasai para pencaci, semudah itu ia berlenggak-lenggok menyusuri garis senja, garis yang membusung seolah rapuh. melantukan tembang tua bagai pemain kawakan. irama, nada, dan rasa bercampur bagai kopi dan gula.
orang lalu - lalang mencibir dan menyindir. ia acuh saja bagai penyair gila. orang lalu - lalang dingin dan tak ambil pusing. ia makin gila bagai angin yang menyemburkan amarah juga kerinduannya. aku mencoba menerka usia. umurnya setua pohon - pohon berjanggut di hutan sana, atau mungkin sebelum kota ini tercipta. jangan tanya di mana rumahnya?, siapa istrinya?, bahkan berapa umurnya?. mulut melankolis itu sudah ditendang ke neraka kemarin kali. "hey kawan !, ini jaman pedang, kotor dan kejam. bicaralah yang nyata.." , satu larik lagu merangas tegas dari nya.
orang mengangan - angan tentang kiamat. orang menghitung - hitung kapan kiamat. orang takut membayangkan kiamat. orang menggigil mendengar kiamat. tapi ia sendiri tiap hari adalah kiamat. pecahan kehancuran sudah tersayat di kerut pipinya.
dunia sudah tiga kali mengusirnya, karena sudah tuli dan mati. ia sendiri sudah dikuburkan orang berhari - hari lalu. tapi jiwanya tak mau mati, dan mengembara ke mana suka. dunia jiwa ternyata lebih sahwat dari dunia bangkai ...
dan gitar usang adalah teman sejati ....
pengamen tua . . . . . .
senandung kencrung dilantunkan
pengamen pasar menyanyikan
lagu ceria diantara duka
terlupa akan segala nestapa...