Sabtu, 26 Maret 2011

temanku mati kemarin sore


telah kau peram dalam malam,
berbenih-benih kenangan yang akan mengalirkan air mata pada telaga angan
mawar bulan berkilau mengiring lawatanmu jadi gairah pertemuan pada Sang peniup ruh
sebab pukau mawar bulan, itu kau lalai menjadi sia-sia hayatmu
gumulan hidup matimu
mengelupas hari-hari sejenakmu
pukauan mawar bulan menujum
untung-malangmu
berayun pada dua telaga
Aku dengar musik kematian lamat-lamat menyanyi dari kedalaman jiwamu
Tiriskan saja kesia-siaanmu, kau orang punya jiwa
Mata menari seumur melodi, dan tidakkah kau merasa sekutumu menjauh? Dan kau pun ambruk dalam permainan ini
menarilah demi umurmu sendiri, demi waktumu, demi harimu, demi malaikatmu,

jalan akhir yang berliku
membuka puncak paling rahasia

semoga kamu damai di sana ...

Dankie nyanyian langit.m4v



nyanyian langit, untuk mu beribu puji . takdir membahana, redakan duka bencana.
Oh luka, musnah....Oh duka, sirna....

Jumat, 25 Maret 2011

hunting foto senja 1#


menembang bayang-bayang sore yg telanjang
di pembaringan hariku
menguak dinding masa, seakan melahirkan beribu lakon kembali
yang belum tuntas dipentaskan
hari mengalir dari lipatan tangan, hanyut dalam sungai silam
membentangkan secarik taman menjelma seserpih kisah baru
mimpi tipis usai di ujung senja, napak tilas yang bergegas gagu meraba getir takdir
mimpi terpanjangku adalah keheningan, galau membaca jejak aksara di tapak tangan
ingatkah kau pada pasir yang mampir dan terlunta dlm segelas susu yg kau suguhkan?

angan yang menyesatkan pengembara pada rahasia cuaca dan getar sisa - sisa cahaya mentari
guratkan lagi aksara penghabisan agar sempurna mengantarku rajai separuh waktu

aku pulang
menggilas aspal senja di kotaku
setelah berjibaku menghantam waktu






Kamis, 24 Maret 2011

malam 4#

sudah beberapa purnama lewat di atas kepala. menuntunku yang kuat menggandeng rikuh jemari di antara belukar pematang tundra tanpa suara itu dan mengantongi bisu. tanpa perlu aku tanyakan mengapa engkau ada dan demi siapa kau mengada. purnama telah lewat, mencorengkan nama dalam kertas yang tak pula sempat kulumat. hanya kugelar di atas keramik untuk teman makan malam mu bersama kepundan. dalam suratku, telah kuhapuskan jejak, juga alamat rumah yang kini sudah tak akan kupijak dengan sepatu. aku akan membawa pergi serdadu hujan, yang di bawahnya, kita pernah bertukar nafas.

ada yang ingin kuraba dalam sisa perjalananku di tempat itu,di tanah yang masih basah dan mengerti bagaimana yang namanya sakit telah di ajarkan oleh mereka, dan tangis hanya sebagai tontonan dan cibiran. lalu kemanakah langkah selanjutnya. semua tampak manis saat keadaan seperti baik. namun berubah saat mereka tak mendapatkan apa yang di inginkan dan semua akan terbaca perlahan. rasakanlah kemudian beritahu aku. saat itu kemenangan akan ada kepada kita, senyum akan mengembang sebagai kepuasaan akan kekalahan dari semua.

kuharap kau takkan lupa, bahwa suatu nanti pasti kita akan mengayuh kaki-kaki renta.
demi menikmati bersama semangkuk senja jingga di langit barat,
namun tak terlihat apa pun ... selain bening di dalamnya ...


pengamen tua

entahlah, bagaimana caranya mengangkat dahi, membusung dada sampai matahari menantang arah kepadanya. mungkin ini suratannya untuk membuat semua menyurutkan langkah, hingga kepompong di garis senja terdiam memelas, seakan tak sanggup mengubah dirinya. ah, sungguuh epilog ini takkan terhenti. jika imaji masih dikuasai para pencaci, semudah itu ia berlenggak-lenggok menyusuri garis senja, garis yang membusung seolah rapuh. melantukan tembang tua bagai pemain kawakan. irama, nada, dan rasa bercampur bagai kopi dan gula.


orang lalu - lalang mencibir dan menyindir. ia acuh saja bagai penyair gila. orang lalu - lalang dingin dan tak ambil pusing. ia makin gila bagai angin yang menyemburkan amarah juga kerinduannya. aku mencoba menerka usia. umurnya setua pohon - pohon berjanggut di hutan sana, atau mungkin sebelum kota ini tercipta. jangan tanya di mana rumahnya?, siapa istrinya?, bahkan berapa umurnya?. mulut melankolis itu sudah ditendang ke neraka kemarin kali. "hey kawan !, ini jaman pedang, kotor dan kejam. bicaralah yang nyata.." , satu larik lagu merangas tegas dari nya.


orang mengangan - angan tentang kiamat. orang menghitung - hitung kapan kiamat. orang takut membayangkan kiamat. orang menggigil mendengar kiamat. tapi ia sendiri tiap hari adalah kiamat. pecahan kehancuran sudah tersayat di kerut pipinya.


dunia sudah tiga kali mengusirnya, karena sudah tuli dan mati. ia sendiri sudah dikuburkan orang berhari - hari lalu. tapi jiwanya tak mau mati, dan mengembara ke mana suka. dunia jiwa ternyata lebih sahwat dari dunia bangkai ...

dan gitar usang adalah teman sejati ....
pengamen tua . . . . . . 





senandung kencrung dilantunkan
pengamen pasar menyanyikan
lagu ceria diantara duka
terlupa akan segala nestapa...

hunting foto bocah 1#

ceria, teman, persahabatan, kepolosan, dan tanpa beban ...
kadang kita merindukan kehidupan masa lalu, masa kanak kita ...










* klik pada gambar untuk memperbesar tampilan

Selasa, 22 Maret 2011

malam 3#

dan akupun perlahan terlelap setelah menyaksikan tubuh - tubuh yang mulai terkulai yang lelah, dan latah menyumpahi kenyataan setelah menyaksikan api, asap serta raung yang selalu betah menjahitkan kematian pada papirus papirus celana dalam. pada akhirnya aku pun juga dapat menyaksikan sepenuhnya pucat kuning bulan pada wajah - wajah mereka, pada wajah malam. ah .. apakah artinya hidup bila takkan menjumpa kematian dan tak bersua lagi dengan getirnya kelahiran?.


tanah malam ini, lalu aspal esok pagi berhenti menyisakan embun anggur dan uap air sebagai residu dari persetubuhan yang ragu dengan tembok tembok penyesalan. aku telah sampai .. aku telah berada disini, merasakan gurat - gurat mata mereka yang kedinginan, menunggu turunnya pelangi pelangi hitam. selimut merah yang tipis dan lusuh mengeluhkan dingin yang menurutmu semakin habis saja dimamah dingin angin. getarnya pelan dan lemah. seperti kesunyian yang rutin merangkak di punggung kota. aku diam .. aku hanya selalu diam.


kaki - kaki tampak lelah, sehabis menempuh perjalanan di sepanjang malam. yang dinginnya dimana nafas - nafas mereka tertanam pada alas kardus tipis. jangan pergi lagi… cukuplah aku kalian tinggalkan dalam ribuan kata dan malam-malam panjang. karena sepanjang waktu, kalian hanya bisa membakar rindu, atau menertawai rindu pada kehidupan lalu.


ah, hampir saja aku lupa ..
ini, kubawakan segelas kopi panas.

mari kita bersulang,
untuk Tuhan yang baik hati.